Kamis, 28 Januari 2010

TARBIYAH MADAL HAYAH


TARBIYAH MADAL HAYAH
DIMULAI DARI SEKARANG!

Sederhanya, tarbiyah adalah pendidikan untuk memperbaiki diri secara terus menerus sepanjang hayat dikandung badan. Kenapa harus terus menerus? Ini persoalannya: hidup kita akan berhenti di satu titik (dunia) untuk kemudian berlanjut ke titik berikutnya (akhirat). Kalau kita tidak mentarbiyah diri secara kontinu, dan dari sekarang, siapa yang akan menjamin kita akan berhenti di titik itu dalam keadaan siap untuk melanjutkan ke titik berikutnya?

SABETAN DI KAKI SEJAK 10 TAHUN

Di mana kita bisa menuliskan serangkaian kalimat yang kelak menginspirasi orang untuk melakukan kebaikan? Tentu bukan di selembar koran yang sudah tercetak dengan aneka tulisan, foto, dan iklan. Bukan juga di atas kertas buku yang sudah berisi deretan kalimat-kalimat yang tersusun rapi. Kita pasti akan menuliskannya di atas kertas yang masih kosong.

Kertas kosong memang belum berisi apa-apa. Maka, ketika kita menuangkan kalimat demi kalimat di atasnya, akan jelas terbaca apa maksud kita dengan tulisan itu. Nah, kira-kira begitulah perumpamaan masa muda yang sangat penting untuk tarbiyah sebagai pembentukan karakter diri seseorang.

Tarbiyah memang ibarat serangkaian kalimat yang ditorehkan di atas “kertas kosong” seseorang. Makin kosong kertas itu, makin jelas kalimat yang tertoreh. Jika tarbiyah dilakukan sejak usia dini, maka akan makin jelas karakter diri yang akan membentuk kehidupan seseorang di masa depannya. Itulah alasan Nabi memberi warning bagi orangtua untuk mulai menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat ketika berumur 7 tahun, dan memberi hukuman berupa sabetan di kaki kalau pada usia 10 tahun mereka berani meninggalkan shalat.

Usia tamyiz (usia pra-balig yang menunjukkan si anak mulai mampu menggerakkan nalar untuk membedakan perbuatan yang baik atau buruk) menjadi ukuran Nabi untuk memulai tarbiyah karena pada usia inilah komando “larangan“ dan “perintah” mulai bisa direspon oleh anak sebagai “pelumas” yang akan menggerakkan “mesin” kepribadiannya.

Mesin yang merespon komando itu memang harus mulai dijalankan, supaya akselerasinya bagus untuk pergerakan selanjutnya. Jika tarbiyah tidak dimulai sejak dini, maka mesin terancam macet karena tidak ada pelumas yang melancarkan pergerakannya. Parahnya, mesin bisa mengalami kebekuan akibat tidak adanya pergerakan, sehingga anak tidak pernah merasa penting bagi dirinya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Si anak yang tidak terbiasa disuruh shalat, dan mendapat hukuman jika tidak mengerjakannya, akan menganggap shalat bukanlah kewajiban, karena memang begitulah dia hidup selama bertahun-tahun.

KEBEKUAN YANG HARUS SELALU TERPECAHKAN

Ketika mesin masa muda mulai bergerak, tarbiyah berfungsi memecahkan kebekuan yang terjadi akibat lalainya orangtua dalam menciptakan lingkungan yang baik buat anaknya. Pada usia dini, dinding-dinding kebekuan itu masih berupa selaput lembut yang mudah untuk disingkirkan, sehingga kemungkinan anak terjebak dalam kebekuan menjadi kecil.

Di usia selanjutnya, jika tarbiyah tidak dilanjutkan, selaput baru akan terbentuk kembali. Dinding-dinding kebekuan mulai tampak. Akibatnya, bekas-bekas tarbiyah yang sudah dijalankan terlokalisasi dan lama-lama hilang. Pernah dengar kan kisah seorang santri yang jadi anak metal setelah lulus dari ponpesnya dan balik ke rumahnya lagi? Atau, anak dari keluarga baik-baik, bahkan anak kiai terpandang, tiba-tiba terjerat narkoba dan seks bebas?

Ketika lepas dari satu kebekuan, tarbiyah akan membentuk kita untuk menetralisisasi kebekuan yang menghadang di periode usia kita berikutnya. Misalnya, ketika usia SD kita sudah tarbiyah, maka saat masuk SMP kita menghadapi tantangan kebekuan yang baru. Dengan selalu berada dalam semangat tarbiyah, kita sudah siap menghadapi tipe-tipe tantangan yang bisa membekukan kepribadian kita itu.

Pendeknya, seperti seorang petani, tarbiyah menuntut kita untuk memelihara diri sendiri dengan sabar dan penuh konsistensi. Persis seperti yang dikatakan Hujjatul Islam Imam Al-Gazali: “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya, yang dimaksud tarbiyah (pembinaan, pendidikan) ialah seperti pekerjaan seorang petani yang mencabuti duri dan menyingkirkan tumbuh-tumbuhan lain dari tanamannya. Hal itu supaya tanamannya baik dan tumbuh dengan sempurna.”

TARBIYAH APA SAJA DAN DI MANA SAJA

Teknisnya, kita telah akrab dengan tarbiyah dalam sebutan liqa atau halaqah. Secara rutin kita datang ke sebuah majelis yang berisi murabbi alias pembina dan teman-teman se-gank kita. Metode ini memang efektif, soalnya sangat familiar dan fleksibel, dan jumlah anggota timnya nggak banyak. Kita bisa bertanya, curhat, minta tolong, bahkan menentukan keputusan, kapan saja bersama teman-teman atau guru kita. Berbeda dengan tablig (apalagi tablig akbar) yang berjubel-jubel jamaahnya. Gimana kita bisa bertanya, curhat, apalagi minta tolong kalau orang yang hadir di majelis tablig segitu banyak. Lagi pula, sang penceramah nggak bisa mengevaluasi (bertanya) satu per satu jamaah yang hadir. Bisa berbusa nggak berhenti-berhenti mulut sang ustadz, hehe.

Tapi, dengan liqa atau halaqah tentu kita nggak lantas jadi murabbi-sentris. Kita nggak bisa cuma mengandalkan kakak pembina yang sangat mungkin terbatas ilmunya. So, tarbiyah juga menuntut kita untuk memperkaya diri sendiri (istilahnya tarbiyah dzatiyah) dengan mencari sumber-sumber yang baik seperti buku-buku, seminar, workshop, pelatihan, dan lain-lain. Dengan kata lain, tarbiyah nggak bikin kita jadi katak dalam tempurung, apalagi eksklusif. Tarbiyah sebaliknya justru mendorong kita untuk terus buka mata buka telinga (bumbata) dengan belajar apa saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. [Iyus-Majalah Annida]

Tidak ada komentar: